Pengalaman Berkuliah S1 dengan Beasiswa


“Tahukah engkau bahwa ilmu telah melagu?
Memukau dunia ketika Newton menembangkan gravitasi,
memaksa dunia takjub lewat dendang relativitas Einstein…?

Tidakkah itu syahdu bila semua terpana?
Tidakkah itu indah bila semua mendengar dan percaya?

Tahukah engkau bila ilmu bisa mendendangkan kebebasan?
Bebas dari segala keterpurukan,
janji akan kehidupan yang lebih baik,
tanpa kebodohan, tanpa kegelapan…?

Tahukah engkau bahwa ilmu telah mewujud?
Lewat beribu perhitungan yang telah memahsyurkan Tembok Babilon,
lewat berjuta kalkulasi yang telah memaku matamu pada kemolekan piramid,
lewat bermilyar pemikiran yang telah melontarkan anak manusia mengenal luasnya alam semesta…?

Ilmu telah mewujud, kawan…
Lewat petuah-petuah bijak gurumu,
Mengalirimu, menghanyutkan segala kebodohanmu…”

Source : Iman Education @ Buku USM STAN

***

Sepenggal paragraf yang memotivasiku sejak lulus SMA sampai saat ini. Kalo buat urusan pendidikan, gak pernah main-main (meski terkadang bahkan seringnya males dan demotivasi setiap bertemu kegagalan hehe). Masa-masa menempa ilmu buatku adalah hal yang gak pernah bosen untuk diceritakan.

Menjelang akhir masa SMA, biasanya beberapa kampus baik negeri maupun swasta gencar promosi dan sosialisasi ke sekolah-sekolah SMA, bahkan sampe ada yang ngadain try out SNMPTN. Saat itu, aku yang belum tau mau jadi apa, punya passion apa, punya skill apa, tertarik buat ngelanjutin studi di antara 3 universitas negeri. IPB (Institut Pertanian Bogor), UI (Universitas Indonesia), dan STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara).
IPB, karena saat itu banyak temen-temen yang dapet beasiswa PMDK dan mau ikut SNMPTN kesana. Apalagi saat itu jurusanku IPA, jadi lebih tertarik sama institut yang berlokasi di Kota Bogor itu. Kemudian UI, karena menjelang kelulusan, ada beberapa alumni siswa di kotaku yang kuliah di UI ngadain promosi + try out SNMPTN. Ngeliat almamater kuningnya, dengerin cerita-ceritanya tentang salah satu kampus terbaik di Indonesia itu, jadilah makin tertarik. Aku pun ikut try outnya (tapi kayaknya gak lulus hehehe). STAN, apa sih yang menarik dari STAN? Aku pilih STAN karena selain kuliah disana gratis, kampus di bawah naungan kementerian keuangan itu juga memberikan jaminan kerja setelah lulus.

Singkat cerita, aku enggak ikut SNMPTN untuk IPB maupun UI. Alasannya cuma satu, kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Yaa, sebagai anak bungsu/terakhir dengan tinggal satu orang tua (ibu) yang udah enggak kerja, rasanya gak mungkin bisa kuliah kalo enggak dapet beasiswa atau keterima di kampus yang bebas bayaran kuliah. Meskipun mungkin bisa ngajuin beasiswa, tapi berapa % kemungkinannya, tetep aja bikin aku putus asa saat itu. Sedih, iya sedih. Tapi masih ada satu harapan lagi. STAN.

Sejak itu pun aku rajin, fokus dan semangat belajar dan latihan buat USM (ujian saringan masuk) STAN. Tibalah saatnya USM STAN. Kebetulan saat itu aku dapet tempat ujian di Gelora Bung Karno. Kebayang dong gimana crowdednya tempat USM. Gak pede. Sangat enggak pede saat ngeliat ribuan orang ikut test yang sama denganku. Apalah aku ini, cuma lulusan SMA dari kampung yang gak ada pengalaman test kayak gini. Ditambah, tiba-tiba di hari itu aku “dapet”. Oh My God, seketika langsung lemes dan risih gak karuan karena posisi duduk gak nyaman, ditambah gak bisa ke toilet di tengah-tengah test (bingung juga toiletnya dimana di stadion segede itu). Akhirnya pasrah ngerjain soal test sekenanya… Dan beberapa waktu kemudian, yeay aku gak lolos hehehhe.


Galau
Setelah pengumuman hasil USM STAN dan dinyatakan gak lolos, galaulah diriku. But fortunately aku punya (salah satu) kakak perempuan yang care banget sama kelanjutan studiku saat itu. Berbagai solusi kita cari, dan solusi paling memungkinkan saat itu ya kuliah kemana lagi kalo bukan ke BSI (kuliah? BSI ajaaa~ eaa). Selain biaya kuliahnya terjangkau, lokasi kampus juga tersedia dimana-mana, jadi bisa milih lokasi yang paling strategis sama tempat tinggal.

Saat itu kakakku yang sedang berkuliah (skripsi) di salah satu universitas swasta di Jakarta, sebut saja UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta), dapet informasi bahwa ada program beasiswa di Program Studi Kesehatan Masyarat (Public Health) Fakultas Kedokteran dan Kesehatan (FKK UMJ). Kesempatan yang baik, meskipun jurusannya masih belum aku pahami, tapi dibanding harus kuliah di BSI, selain tetep harus bayar, entah kenapa hati gak srek untuk kuliah disana. Jadilah aku coba untuk ikut seleksi beasiswa ini.
Hari yang ditunggu pun tiba. Aku ke kampus UMJ pagi-pagi sekitar jam 06.30, padahal testnya mulai sekitar jam 08.00-an. Seleksi untuk masuk jurusan ini dibagi jadi 2 hari.
Hari 1   : Psikotest, Test Baca Al Qur’an, dan Medical Check Up
Hari 2   : Wawancara

Hari pertama, psikotest berjalan lancar. Aku cukup pede karena sebelumnya udah sering latihan untuk ujian masuk universitas. Selain itu soal-soalnya juga lebih mudah dibanding USM STAN hehe (yaiyalaah). Selesai psikotest, entah kenapa dengan pedenya aku langsung pulang. Entah karena aku gak liat informasi seleksi, atau aku gak denger apa yang disampein sama panitia seleksi.
Di hari kedua, saat aku nunggu giliran untuk wawancara, ada salah satu peserta yang ngobrolin tentang test baca Qur’an dan MCU di hari kemarin; namanya Dita, yang akhirnya jadi temen satu geng sampe sekarang hehe; panik lah aku yang gak ikut full seleksi. Begitu giliranku wawancara, jujur lah aku sama interviewer-nya. Alhamdulillah, seperti yang aku rasain sampe lulus kuliah, dosen di FKK UMJ baik-baik semua. Diijinin lah aku untuk ikut test baca Qur’an dan MCU susulan sebelum mulai wawancara.


Pengumuman Program Beasiswa
Hari pengumuman hasil seleksi. Kembali lah aku ke FKK UMJ. Alhamdulillah, kali ini aku lolos diterima di sebuah universitas dengan bantuan beasiswa full dari awal semester sampe lulus kuliah. Banyak juga peserta seleksi yang lolos dengan beasiswa full, meskipun enggak sedikit yang gak lolos.


Masa Perkuliahan
Masa perkuliahan S1 diwajibkan maksimal 4 (empat) semester. Ya, karena dibiayai kampus, jadi gak boleh lama-lama hehe. Kalopun lebih dari 4 semester, mahasiswa akan menanggung biaya di semester ke-5 dan seterusnya.
Apa aja yang aku dapet dari program beasiswa ini? Ini dia….
§  Free uang masuk/biaya gedung
§  Free biaya kuliah tiap semester
§  Free biaya ujian

Eiiittsss, tapi bukan berarti bisa kuliah sesuka hati yaa.. Untuk mempertahankan beasiswa ini, tiap semesternya gak boleh dapet IPK kurang dari 3 (lupa lagi sih 3.000 atau 3 koma berapa wkwkk).
Dan Alhamdulillah-nya, aku gak pernah dapet IPK di bawah 3, gak pernah ikut semester pendek (ini tuh semacam remedial kuliah dan ujian mata kuliah tertentu karena nilainya jelek dan harus bayar pula), dan gak sampe lebih dari 4 semester.
Intinya, selama kuliah aku cuma ngeluarin uang buat :
§  Bayar registrasi training ESQ (wajib) Rp 200.000,-
§  Bayar administrasi PBL (praktek belajar lapangan) lupa lagi berapa biayanya yang pasti di bawah satu juta hehhe
§  Bayar sidang skripsi Rp 500.000,-
§  Bayar wisuda Rp 1.000.000,-

Yah kalo untuk biaya nugas, ngeprint, ngejilid, dll itu udah jadi konsenkuensi biaya operasional kuliah lah. Sama kayak harus bayar sewa kostan setiap bulan, biaya makan, dll.

Buatku, kuliah di FKK UMJ adalah pengalaman menempa ilmu yang luar biasa. Semua yang aku jalani mulai dari belajar di kelas, magang, PBL, SCL (student center learning), praktek lab sampe ngolah skripsi, semuanya amazing banget. Lelah? Pusing? Gak paham sama matkul? Stress penelitian skripsi? PASTI! Tapi semuanya jadi terasa indah pas udah selesai dijalani J.
Enggak cuma belajar ilmu yang aku pelajari di jurusan kuliah, disana juga aku dapet cukup banyak pengalaman organisasi dan relasi yang manfaatnya aku rasain sampe di tempat kerja saat ini.

Ada perasaan menyesal di hatiku saat udah lulus kuliah dari sana. Meskipun IPK-ku stabil, beasiswa bisa dipertahankan, lulus tepat waktu (padahal berharapnya 3.5 tahun sih waktu itu hehe), tapi aku ngerasa dulu enggak bener-bener serius belajar. Aku sering enggak fokus saat kuliah (faktor sering becanda di kelas kayaknya hehe), terkadang suka memprioritaskan organisasi daripada kuliah, dan sering banget jadi deadliner L (ujian jam 8 pagi, baru belajar subuh). Kadang suka mikir juga sih, andai dulu lebih rajin dan serius, mungkin bisa langsung dapet beasiswa S2 ke luar negeri kali ya wkwk (teteeeep).


Kenapa Bangga sama Public Health UMJ?
Kenapa bangga? Karena…
§  Dosennya banyak dari lulusan universitas ternama dalam dan luar negeri
§  Dosen dan pegawai akademik asik, konsultasi dan sharing perkuliahan jadi lebih nyaman
§  Pembelajaran kuliah update
§  Metode belajar enggak cuma in class learning, tapi ada juga praktek di lab, masyarakat lapangan, dan student sebagai center learning. Malah sekarang ada study trip ke Thailand
§  Lulusannya berkualitas, bahkan banyak yang melanjutkan study baik di dalam ataupun luar negeri
§  Meskipun universitas swasta, tapi rasa negeri. Karena Public Health UMJ kualitasnya gak jauh beda sama Public Health UI
§  Pilihan konsentrasi kuliah/peminatannya banyak, dan semuanya menarik
§  Sekarang udah bukan program studi/jurusan lagi, tapi udah jadi fakultas di UMJ (FKM UMJ). Artinya, program ini semakin berkembang dan menjadi peminatan banyak orang


***

That’s my bachelor scholarship experience. Menurutku, pendidikan pasca SMA itu sangat penting. Bukan untuk gelar, ijazah atau syarat dapetin kerja yang enak, melainkan untuk membentuk mindset. Jaman sekarang dapet gelar n ijazah D3/S1 itu gampang banget. Bisa ikut kuliah kelas karyawan di kampus yang kehadirannya bisa ngasal, trus tau-tau nanti skripsi. Atau minta dibuatin skripsi sama orang, tau-tau sidang, wisuda dan taraaaaa jadilah sarjana.
Berapa banyak sarjana yang enggak paham cara berkomunikasi dengan baik? Berapa banyak sarjana yang enggak paham attitude? Berapa banyak sarjana yang mindsetnya setara lulusan SMA atau bahkan di bawah SMA? Banyak sekali.
Tapi lagi-lagi, dalam banyak kondisi, faktor ekonomi jadi salah satu pemicu kenapa orang lebih milih kerja dulu daripada kuliah. Meski sebetulnya aku pribadi sangat enggak setuju sama alur ini. Menurut pandanganku, orang yang kerja dulu baru kuliah, atau kerja sambil kuliah, hasilnya akan sangat berbeda sama orang yang fokus berkuliah dulu baru terjun di dunia kerja atau bikin usaha. Sebagian besar ya, enggak semuanya. Ada juga kok lulusan SMA atau mahasiswa on going yang udah kerja tapi kualitasnya bagus. Penemuan lagi, ada juga sarjana yang emang tadinya kuliah dulu baru kerja, tapi kualitasnya enggak sebagus yang seharusnya. Balik lagi sama orangnya sih hehe.

Program beasiswa yang tepat sasaran adalah salah satu solusi yang tepat untuk permasalahan ini. Aku berharap ada lebih banyak universitas/perguruan tinggi yang menyelenggarakan program ini khususnya untuk S1. Karena S1 adalah gerbang pembentukan mindset. Entah kenapa aku lebih sering liat info beasiswa untuk S2/S3 dibanding S1 (ini cuma opini kok, enggak ada datanya wkk). Atau penyelenggara harus lebih gencar sosialisasi program beasiswa S1 dengan memanfaatkan information technology.  

***

“Ilmu Amaliah, Amal Ilmiah”.
Ilmu haruslah diamalkan, sementara amal haruslah berdasarkan ilmu. :))

Comments